Secara harfiah hijrah artinya berpindah. Secara istilah ia mengandung dua makna yaitu, hijrah makani dan hijrah maknawi . Hijrah makani artinya hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik dari negeri kafir menuju negeri Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebathilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keIslaman. Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah. Alasannya hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah SAW dan para sahabatnya ke Madinah. Secara makani jelas mereka berjalan dari Mekah ke Madinah menempuh padang pasir sejauh kurang lbh 450 km. Secara maknawi jelas mereka hijrah demi terjaganya misi Islam.
Ibrah dari dari peristiwa hijrah adalah sebuah pengorbanan. Setelah para sahabat keluar dari ujian berupa siksaan dan cercaan dari Kafir Quraisy di Mekah tidak otomatis menjadikan mereka bebas dari ujian berikutnya. Yang paling gamblang adalah cobaan meninggalkan kemapanan. Tengoklah bagaimana sahabat meninggalkan keluarga tercinta rumah pekerjaan tanah air dan sanak kadang dan handai taulan.
Secara lahiriyah umumnya naluri manusia akan menyatakan ujian itu sungguh berat. Meninggalkan nilai material yang barangkali selama ini mereka rintis dan perjuangkan. Berpindah ke suatu tempat asing yang penuh spekulasi. Toh kecintaan para sahabat akan Islam mengalahkan kecintaan pada semua itu. Kesucian akidah di atas segalanya. Hal ini sekaligus menegaskan betapa maslahat “dien” menempati pertimbangan tertinggi dari maslahat-maslahat yang lain. Pelajaran lain hijrah menegaskan adanya perseteruan abadi antara kebatilan versus kebenaran.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 147 yang artinya : “Kebenaran itu datang dari Rabb-mu maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu-ragu”. Untuk menangkap spirit hijrah lebih jauh rumusan sederhana Ibnu Qayyim cukup menarik katanya dalam kata hijrah terkandung arti berpindah “dari” dan berpindah “menuju”. Maksudnya berpindah dari yang semula tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya menuju kepada yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Jika rumusan global tersebut betul-betul dihayati tiap muslim untuk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan barangkali nasib umat ini secara umum akan lebih baik dari sekarang, karena dalam dirinya terdapat potensi raksasa/kekuatan yang luar biasa, yang apabila digali dan di manaje dengan sungguh-sungguh akan mengantarkan kepada kehidupan kita yang jauh lebih baik, lurus, dan cerah. Ketidak sadaran akan potensi dirinya akan berdampak kepada pengkerdilan potensi itu sendiri. Sehingga manusia (kita) sering tidak berdaya dalam menghadap persoalan hidup.
Bentuk ketidak sadaran akan potensi diri ini bisa bersifat individu atau kolektif. Dalam tataran individu hal itu akan membuat individu yang bersangkutan mengalami kelumpuhan berfikir, kelumpuhan nurani dan kelumpuhan beraksi yang akhirnya bisa menimbulkan sifat “malas”. Selanjutnya akan dapat menimbulkan pola pikir yang “seandainya, jikalau , umpama” (seandanya saya jadi orang kaya, jikalau saya seorang pejabat dll). Sedangkan dalam skala kolektif akan menimbulkan kelumpuhan satu bangsa, satu generasi atau satu ummat, sehingga akan melahirkan generasi yang mandul, ummat yang rapuh dan bangsa yang stagnan. Padahal Allah sudah memberikan peringatan dalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran:139) : “Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi jika kamu orang-orang yang beriman”.
Maka, Orang-orang beriman bisa melejitkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya secara maksimal dalam bingkai keimanan dan ketaqwaan jika mampu menyuruh manusia untuk berbuat baik, menebarkan kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang mungkar yang merugikan manusia lainnya. Kita akan dianggap kelompok orang yang beriman jika dalam setiap gerak kita aksi kita selalu bertaburan kebaikan dan sepi dari kemungkaran. Kesadaran untuk menjadi mukmin secara hakiki akan mengantarkan kita kepada pola pikir dan aksi yang positif, mendorong kita untuk melakukan kerja besar dan menghindarkan kita dari perbuatan/pekerjaan yang sia-sia. Kesadaran bahwa kita mendapat asuransi bersyarat dari Allah sebagai umat terbaik, umat pilihan, dan saksi bagi segenap manusia akan memacu, mendorong serta menggerakkan kita untuk melakukan agenda strategis untuk mengangkat derajat umat Islam yang sedang dirugikan oleh cara berpikir dan berperilaku yang keliru.
Oleh karena itu kita harus mulai dari diri kita (ibda’ binafsik) selanjutnya kesadaran individu harus bermetamorfosis menjadi kasadaran kolektif, menjadi kesadaran umat, sehingga kita mampu menempatkan diri pada tempat yang seharusnya. Kita harus menjadi umat yang mulia dan bukan menjadi hina. Kita harus menjadi umat yang memimpin dan bukan yang dipimpin. Kita harus menjadi Khairul Ummah (ummat yang terbaik) dalam bingkai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Umat Islam Indonesia harus memahami makna hijrah secara makro. Hijrah bukan hanya pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya. Tapi makna hijrah secara luas adalah perubahan, termasuk perubahan pola pikir dalam menempuh perjalanan hidup di dunia ini.
There are no comments yet.